SORONG, Monitorpapua.com – Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Pembela HAM dan Lingkungan menyatakan sikap menolak kekerasan di Tanah Papua dan meminta “Lindungi Hak Masyarakat Adat dan Masyarakat Sipil di Wilayah Moskona dan Aifat Timur, serta mengedepankan Asas Hukum Praduga Tak Bersalah (presumption of Innocent) kepada pelaku pembunuhan dan dialog sebagai instrument manusia beradab”.
Pernyataan sikap ini ditegaskan Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Pembela HAM dan Lingkungan, yang terdiri dari Sekretariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Ordo Santo Augustinus (SKPKC-OSA), Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) Keuskupan Manokwari-Sorong, LBH PBHKP Sorong, Koalisi LSM Papua Barat Wilayah Sorong Raya.
Demikian ditegaskan Koordinator Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Pembela HAM dan Lingkungan Pastor Bernard Wos Baru, OSA, didampingi Direktur LBH PBHKP, Louri da Costa, Ketua Kerasulan Awam (Kerawam) Keuskupan Manokwari Sorong, Pastor Izaak Bame, PR, Pimpinan Ordo Santo Augustinus (OSA), Pastor Yan Fatem, OSA, Koalisi LSM dan Advokat, Simon kepada puluhan wartawan cetak, elektronik dan daring online di Kantor LBH PBHK Kota Sorong, Jumat 23 Mei 2020.
Koordinator Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Pembela HAM dan Lingkungan Pastor Bernard Wos Baru, OSA mengatakan Berdasarkan hasil pertemuan dengan masyarakat di Kampung Aisa dan Kamat (12-13 Mei 2020), pihaknya mendapatkan informasi bahwa masyarakat adat setempat mengeluhkan keberadaan dan aktivitas PT. Wanagalang Utama, karena belum sepenuhnya memenuhi hak masyarakat, terkait dengan pemberian kompensasi dari nilai kayu yang tidak adil dan pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat yang tidak memenuhi standar keadilan sebagaimana yang telah ditetapkan.
Tim Koalisi ini menegaskan, kasus pembunuhan terhadap seorang anggota brimob di wilayah Moskona Selatan, sebenarnya bersumber dari konflik antara PT. Wanagalang Utama dengan pihak pemilik hak ulayat. Mengapa pihak Polisi tidak menjadikan PT. Wanagalang Utama sebagai pihak yang dilibatkan dalam proses penyelidikan terhadap motif pembunuhan tersebut? Mengapa PT. Wanagalang tidak disebut-sebut oleh pihak Kepolisan sebagai bagian penyebab konflik sehingga bermuara pada pembunuhan tersebut? Mengapa jasa oknum Brimob lah yang dipakai bukan jasa Polisi biasa? Tujuannya untuk apa? Apakah pernah terjadi konflik antara pihak pemilik hak ulayat dengan pihak perusahaan Tersebut? “Inilah sejumlah pertanyaan yang mestinya dijawab pihak Kepolisan, sehingga ditemukan motif sesungguhnya di balik pembunuhan tersebut,” tegas Bernard Wos Baru.
“Berdasarkan pernyataan dari pihak Kapolda Papua Barat, melalui Direktur Reserse Kriminal Umum, AKBP Ilham Saparona (Jagat Papua, 28 April 2020), bahwa motif pembunuhan seorang anggota Brimob bersifat berencana. Karena itu, berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan, diduga bahwa Komite Nasional Papua Barat (KNPB) terlibat dibalik pembunuhan dan perampasan senjata api milik korban.
Berdasarkan pernyataan ini, kami melihat ada kejanggalan terhadap tuduhan bahwa KNPB sebagai aktor dibalik pembunuhan tersebut. Bahkan dipertanyakan, apakah KNPB sebagai organisasi yang melakukan pembunuhan tersebut? Ataukah mungkin pribadi-pribadi tertentu yang melakukan pembunuhan?Kebetulan pribadi itu adalah anggota KNPB? Maka menurut kami, seharusnya dipisahkan KNPB sebagai aktor institusi dengan pribadi tertentu yang diduga melakukan pembunuhan, karena motif konflik kepentingan hak ulayat dengan pihak PT. Wanagalang Utama,” tegas Koordinator.
Kami juga melihat pihak Kepolisian melalui Polda Papua Barat, mengabaikan prosedur Asas Praduga Tak Bersalah (presumption of Innocent), di mana terlihat bahwatelahterjadi vonis kepada para pelaku pembunuhan mendahului proses pengadilan.
Cara ini bertentangan dengan prinsip hukum yang diatur di dalam kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Demikian juga cara Polisi menggiring persoalan pembunuhan ini kewilayah Maybrat, dengan menuduh KNPB sebagai aktor di balik pembunuhan.“Menurut kami hal ini merupakan upaya kesengajaan mengalihkan persoalan utama, yaitu konflik antara masyarakat hak ulayat dengan pihak PT. Wanagalang Utama. Tuduhan pihak Polda Papua Barat bahwa diduga KNPB terlibat dalam rencana pembunuhan anggota Brimob adalah suatu upaya kriminalisasi terhadap KNPB sebagai organisasi,” terangnya dalamJumpa Pers.
Selanjutnya, kata Koordinator Tim, Pastor Bernad Baru, Tindakan penyisiran yang dilakukan pihak Polda melalui pasukan Brimob kewilayah Aifat Timur dan Moskona, suatu tindakan yang berlebihan, karena menggunakan cara terror dan intimidasi terhadap masyarakat sipil. Kami mempertanyakan, mengapa tidak menggunakan prosedur yang lain? Mengapa harus menggunakan cara kekerasan terhadap masyarakat sipil? Akibat dari pendekatan militer ini, menimbulkan kecemasan dan ketakutan masyarakat, sehingga banyak masyarakat yang mengungsi kehutan.
”Kami melihat bahwa pihak POLRI dan TNI menjadikan peristiwa ini sebagai moment untuk memperluas menambah pos-pos baru di wilayh Aifat Timur dan Mare, serta beberapa Distrik yang lain di Kabupaten Maybrat. Kami masih mempertanyakan, apakah dengan kehadiran TNI dan POLRI di Aifat Timur dan Mare akan membawa keamanan bagi masyarakat? Ataukah justru akan menciptakan rasa tidak aman bagi masyarakat? Apakah memang kedua wilayah ini betul-betul tidak aman, sehingga dibutuhkan pihak keamanan?,” tegas Tim Koalisi itu.
Berdasarkan latarbelakang masalah tersebut, kami dari Sekretariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Orddo Santo Augustinus (SKPKC-OSA) dan Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) Keuskupan Manokwari-Sorong serta Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Sorong Raya dan Lembaga Bantuan Hukum, menyatakan sikap kami sebagai berikut:
1.Kepada Pihak PERUSAHAAN:
A. Mengecam dengan keras cara perusahaan yang lebih cenderung memakai jasa brimob (Polisi) guna mengamankan kepetingan perusahaan dari pada kepetingan masyarakat. Karena kami menilai bahwa konflik antara masyarakat dengan pihak perusahaan karena adanya praktek ketidakadilan, yang didukung oleh pihak penegak hukum.
B. Menghimbau agar Setiap perusahaan yang beroperasi di wilayah adat Kabupaten Maybrat seyogyanya memiliki izin PEMDA dan LMA setempat. Surat izin tersebut harus mengandung tanggung jawab moral perusahaan terhadap masyarakat lokal. Tidak ada tanah kosong di Papua. Tanah Papua memiliki tuannya.
2. Kepada Pihak KEPOLISIAN DAN TNI:
A. Mengecam pihak Kepolisian yang mengabaikan asas hukum praduga tak bersalah (presumption of Innocent) sebagaimana yang diamanatkan oleh UU No. 8 Tahun 1981 dan UU No. 48 Tahun 2009 kepada yang diduka sebagai pelaku pembunuhan.
B. Mengecam cara-cara Polisi dan TNI mengejar karier dengan menciptakan konflik yang membawa korban kepada masyarakat sipil yang tidak berdosa.
C. Mengecam pendekatan militer berlebihan terhadap masyarakat sipil. Tidak dibenarkan dengan alasan keamanan Negara, hak hidup masrakat sipil dikorbankan.
D. Mendesak agar Polda Papua Barat segera membebaskan tahanan yang ditangkap karena dugaan tindak pidana yang disangkakan kepada empat tahanan, mereka sama sekali tidak terlibat dan atau memenuhi unsur pidana dalam peristiwa yang dimaksudkan sesuai UU yang berlaku di NKRI ini.
E. Mendesak kepada Kapolda/Kapolres, Pangdam agar menarik aparatnya dari perusahaan-perusahaan di seluruh tanah Papua. Sebab aparat selalu berpihak kepada perusahaan daripada kepada masyarakat. Sudah saatnya aparat keamanan (TNI – Brimob) kembali ke markasnya.
F. Menolak kesepakatan pendirian dua pos Koramil dan empat pos Polsek di wilayah Maybrat, terlebih khusus di wilayah Aifat Timur dan Mare. Karena kami menilai surat kesepakatan yang telah dibuat tidak memenuhi prosedur dan kriteria hukum serta belum ada persetujuan dari pihak warga kampong, tokoh-tokoh adat, masyarakat, pemuda, perempuan dan Gereja. Setiap pendirian markas-markas militer dan polisi seyogyanya berdialog dengan semua pihak: Pemerintah, Gereja, adat, intelktual/akademisi, perempuan dan masyarakat. Hal ini penting karena merekalah yang akan mengalami dan merasakan konsekwensi lansung dari kehadiran aparat militer.
3. Kepada Pihak Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Papua Barat serta Pemerintah Kabupaten Maybrat
A. Mendesak kepada Menteri Lingkungan Hidup, Pemerintah Daerah Provinsi Papua
Barat, dan Pemerintah Kabupaten Maybrat agar mengevaluasi secara menyeluruh kehadiranerusahaan-perusahaan, termasuk perusahaan Bangun Kayu Indonesia (BKI) di Wilayah Propinsi Papua Barat secara umum, dan khususnya Wilayah Kabupaten Maybrat.
B. Mendesak PEMDA MAYBRAT menetapkan Perda yang mendukung pengusaha pribumi dan masyarakat adat setempat agar mampu mengolah hutan dan hasilnya secara mandiri, demi pengembangan kemandirian ekonomi masyarakat, seturut program nawacita Presiden Jokowi.
C. Mendesak PEMDA Maybrat, PEMDA TELUK BINTUNI dan TAMBRAW serta SORONG SELATAN agar menentukan secara tegas batas wilayahnya, melalui kerjasama dengan masyarakat adat atau masyarakat pemilik hak ulayat. Perlunya regulasi yang mengatur kearifan lokal, khususnya budaya dan alam (ekologi).
D.Mendesak pihak Pemerintah Daerah Maybrat agar secara serius memperhatikan nasib para pengusi yang sedang berada di hutan atau di tempat pengusian.
4. DIALOG.
Mengharapkan dan MendorongPemdaProvinsidanKabupatenTNI dan POLRI sertaTokoh-TokohMasyarakatAdatdan Agama berdialog dengan warga negara Indonesia yang berseberangan ideologi yakni, KNPB, TPN-OPM, dan Parlemen Papua. Hanya dengan jalan (via) dialog yang jujur dan tulus, maka konflik yang selama ini terjadi di Papua diselesaikan secara bermartabat.
Demikian ditegaskan Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Pembela HAM dan Lingkungan Kordinator Tim Pater Bernard WosBaru, OSASekretariat Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Ordo Santo Augustinus (SKPKC-OSA), Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) Keuskupan Manokwari-Sorong,LBH PBHKP Sorong. Koalisi LSM Papua Barat Wilayah Sorong Raya. (RED-MP/Ren)