“HENTIKAN KEKERASAN DAN PULIHKAN MARTABAT KEMANUSIAAN DI TANAH PAPUA”

31
HENTIKAN KEKERASAN DAN PULIHKAN MARTABAT KEMANUSIAAN DI TANAH PAPUA”
HENTIKAN KEKERASAN DAN PULIHKAN MARTABAT KEMANUSIAAN DI TANAH PAPUA”
- Iklan Berita 1 -

SORONG, Monitorpapua.com. -Siaran Pers Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) se-Tanah Papua

1. KONTEKS UMUM TANAH PAPUA TAHUN 2025

Tanah Papua masih berada dalam pusaran konflik bersenjata, ketegangan politik, ketimpangan sosial-ekonomi yang mendalam dan kerusakan lingkungan hidup. Meskipun pemerintah pusat dan daerah terus melaksanakan program otonomi khusus, pemekaran provinsi, dan pembangunan infrastruktur, manfaat nyata bagi masyarakat akar rumput belum dirasakan, khususnya bagi Orang Asli Papua (OAP). Ketimpangan dan marginalisasi terhadap Orang Asli Papua (OAP) masih terjadi di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sosial-budaya. Ribuan warga sipil, mayoritas Orang Asli Papua (OAP) di berbagai wilayah seperti Nduga, Intan Jaya, Puncak, Yahukimo, Pegunungan Bintang dan Maybrat, terpaksa dan dipaksa mengungsi akibat operasi militer dan konflik bersenjata. Setiap usaha menyampaikan aspirasi secara damai untuk mengangkat isu-isu di atas, ditanggapi secara represif seperti penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan, kriminalisasi terhadap aktivis dan intimidasi terhadap pembela HAM Papua, termasuk para petugas pastoral gereja.

2. MILITERISASI DAN KRISIS PENGUNGSIAN

Kekerasan bersenjata di Tanah Papua telah berubah menjadi sistem kekerasan yang terstruktur dan berkelanjutan. Data pastoral SKP menunjukkan adanya lebih dari 4.469 pengungsi di Kabupaten Puncak Papua dan 1.231 pengungsi di Intan Jaya. Di Kabupaten Pegunungan Bintang, khususnya di Distrik Oksop, pada tanggal 28 November 2024, terjadi pembakaran rumah, pembunuhan warga sipil, dan pelanggaran berat hak asasi manusia. Selain itu, kantor Distrik Oksop dan Gereja Efesus GIDI di Kampung Mimin dijadikan sebagai pos militer. Pada tanggal 19 Oktober 2025, terjadi serangan udara di Kiwirok yang menewaskan empat kombatan dan menimbulkan trauma bagi masyarakat sipil.

Keberadaan sedikitnya 12 pos TNI dan Brimob di Aifat Timur dan Selatan menyebabkan intimidasi dan rasa tidak aman di tengah masyarakat. Rasa tidak aman muncul karena aparat militer menggunakan fasilitas umum seperti kantor distrik, gedung sekolah, puskesmas pembantu bahkan rumah warga sebagai pos militer. Selain itu gerak-gerik warga dalam aktifitas sehari-hari dibatasi oleh aturan wajib lapor pada pos-pos bersangkutan. Teror dan intimidasi terhadap warga pun dilakukan dengan alasan keamanan.

Kedua peristiwa di atas hanyalah contoh kecil. Peristiwa serupa terjadi hampir di seluruh wilayah layanan SKP Se-Papua.

Situasi di atas jelas-jelas telah melanggar Hukum Humaniter Internasional dan prinsip proporsionalitas dan pembedaan (proportionality and difference) dalam operasi militer sebagaimana diatur dalam Konvensi Jenewa 1949, ICCPR Pasal 6, dan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) serta peraturan perundang-undangan di tingkat domestik (KUHP pasal 308 dan 187, UU 39 Tahun 1999, UU TNI 17 dan 18).

Tanah Papua masih berada dalam pusaran konflik bersenjata, ketegangan politik, ketimpangan sosial-ekonomi yang mendalam dan kerusakan lingkungan hidup
Tanah Papua masih berada dalam pusaran konflik bersenjata, ketegangan politik, ketimpangan sosial-ekonomi yang mendalam dan kerusakan lingkungan hidup (foto istimewa)
3. PROYEK STRATEGIS NASIONAL DAN HAK MASYARAKAT ADAT

Proyek Strategis Nasional (PSN) di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, mencakup lebih dari dua juta hektar lahan untuk pengembangan food estate dan bioenergi, yang mengancam hak ulayat, hutan adat, dan keberlangsungan hidup masyarakat adat Malind, Yei, Makleu, dan Kima Ima. Proyek ini dijalankan berdasarkan Keputusan Presiden No. 15 Tahun 2024 tentang Satuan Tugas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanol di Kabupaten Merauke, serta SK KLHK No. 835 Tahun 2024 yang memberi izin penggunaan kawasan hutan seluas 13.540 hektar bagi Kementerian Pertahanan RI di kawasan hutan lindung dan produksi.

Salah satu pelaksana utama PSN ini, PT Murni Nusantara Mandiri, mengantongi konsesi seluas 39.579 hektar di Distrik Jagebob dan Animha, mencakup Kampung Obaat Trow, Melin Mengikar, Jemunain Jaya, Blandin Kakayo, dan Koa. Berdasarkan hasil pantauan lapangan, perusahaan ini bersama sejumlah entitas lain seperti PT Global Papua Abadi dan PT Andalan Manis Nusantara diduga melakukan pembukaan lahan tanpa proses AMDAL yang transparan, menyebabkan kerusakan ekosistem rawa dan gambut yang bernilai konservasi tinggi, serta mengabaikan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) terhadap masyarakat adat pemilik tanah ulayat.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa operasi pembukaan lahan di Wogekel, Distrik Ilwayab, dilakukan dengan ratusan alat berat dan pengawalan aparat TNI-AD, tanpa keterlibatan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) teknis Kabupaten Merauke maupun Provinsi Papua Selatan. Tindakan ini telah menimbulkan kekhawatiran konflik horizontal dan potensi pelanggaran HAM berat di wilayah adat. Selain itu, praktik perampasan tanah dan kerusakan ekologi tersebut bertentangan dengan asas “equality before the law” dan “rule of law” sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 28D ayat (1), UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.

Di Jayawijaya, program cetak sawah seluas 2.000 hektar dilakukan di tanah adat Hubula tanpa persetujuan masyarakat (Free, prior, Informed Consent/FPIC), berpotensi menimbulkan konflik sosial antar marga dan pelanggaran hak konstitusional sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 Pasal 18B(2) dan Putusan MK No.35/PUU-X/2012.

Pemerintah Pusat segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap PSN di Tanah Papua, menghentikan sementara seluruh kegiatan yang berpotensi melanggar hak masyarakat adat, dan memastikan pelaksanaan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan keadilan ekologis sesuai amanat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa “hutan adat bukan lagi hutan negara.”

4. KRISIS SOSIAL, MIRAS DAN HIV/AIDS

Epidemi HIV/AIDS di Tanah Papua mencapai lebih dari 26.000 kasus. Kabupaten dengan prevalensi tertinggi adalah Nabire (10.700 kasus), Mimika (8.000 kasus), dan Kota Jayapura (8.800 kasus). Peredaran minuman beralkohol, lemahnya penegakan hukum, dan kurangnya edukasi remaja memperburuk kondisi sosial masyarakat. Data pastoral SKP menunjukkan bahwa sebagian besar masalah kriminalitas disebabkan oleh peredaran dan konsumsi minuman beralkohol.

5. SERUAN DAN TUNTUTAN SKP SE-TANAH PAPUA

  1. Hentikan segera operasi militer dan pengiriman pasukan non-organik ke Tanah Papua; wujudkan jeda kemanusiaan dan lindungi warga sipil.
  2. Hentikan penggunaan fasilitas publik seperti gereja, kantor pemerintahan, puskemas, sekolah, dan rumah warga sebagai pos militer.
  3. Pulangkan para pengungsi ke kampung halamannya sesuai asas persetujuan bebas, penuhi hak-hak dasar para pengungsi, serta membuka akses bantuan kemanusiaan bagi para pengungsi.
  4. Hentikan proyek strategis nasional yang merampas tanah adat dan melanggar prinsip FPIC.
  5. Akui dan lindungi masyarakat adat Papua sebagai subjek pembangunan nasional, bukan objek eksploitasi.
  6. Tegakkan hukum terhadap aparat dan korporasi pelanggar HAM dan lingkungan.
  7. Berantas peredaran minuman beralkohol dan narkoba di seluruh Tanah Papua.
  8. Dorong dialog politik Jakarta-Papua dan rekonsiliasi nasional melalui mediasi pihak netral.
6. PENUTUP

Gereja Katolik di Tanah Papua, melalui Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP), tetap setia pada panggilan kenabian: menjadi suara bagi yang tak bersuara, pembela kehidupan, dan penjaga keutuhan ciptaan. Kami menyerukan kepada Pemerintah Republik Indonesia, TNI/Polri, Pemerintah Daerah, dan seluruh elemen bangsa untuk menghentikan kekerasan dan mengutamakan jalan damai.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa meneguhkan langkah kita semua untuk membangun Tanah Papua yang adil, damai, dan bermartabat bagi setiap insan ciptaan.

Timika, 06 November 2025

Atas Nama Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP) se-Tanah Papua:

RP Alexandro Rangga, OFM – Direktur JPIC OFM Papua
RD Lukas Lega Sando – Direktur SKP Keuskupan Agats
Saul Wanimbo – Ketua SKP Keuskupan Timika
RP Heribertus Lobya, OSA – Direktur SKPKC OSA Christus Totus Sorong
Elias Gobay – Sekretaris Komisi KPKC Keuskupan Jayapura

Harry Woersok – Direktur Petrus Vertenten Merauke

Kontak Media: RP. Alexandro Rangga, OFM (0812-8942-1372-English) *Red.

Berikan Komentar

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini