Diskriminasi dan Subordinasi Kaum Perempuan

531
Penulis : Yakobus Bobby Arwalembun, Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur - Provinsi Papua
- Iklan Berita 1 -

Penulis : Yakobus Bobby Arwalembun, Mahasiswa Sekolah Tinggi  Filsafat  Teologi Fajar Timur – Provinsi Papua

JAYAPURA, Monitorpapua.com – Dalam berbagai aspek, kehidupan perempuan masih direndahkan. Zaman semakin modern, maka perempuan memerlukan perubahan status. Kondisi akan relasi perempuan dan laki-laki yang sekarang ini adalah relasi subordinasi atau relasi kedudukan bawahan.

Relasi kedudukan ini, menciptakan suatu diskriminasi yang bermula dari sosialisasi tentang peran manusia dan dilatarbelakangi oleh Ideologi Gender. Gender dapat dipahami bahwa manusia dilahirkan sebagai laki-laki dan perempuan yang dikontruksi untuk berperilaku dan bersikap sebagai perempuan dan laki-laki dan tentang bagaimana mereka dalam berelasi.

Proses ini menyebabkan mereka kehilangan identitas dirinya tetapi mendapat identitas gender. Identitas gender yang diperoleh kemudian digunakan untuk menentukan pembagian tugas dan peran gender perempuan dan laki-laki dalam masyarakat. Inilah yang menyebabkan perempuan dan laki-laki tidak dapat berperan secara optimal karena peran tersebut bukanlah berasal dari identitas pribadi tetapi identitas gender yang terbentuk melalui konstruksi sosial.

Berbagai media massa cetak maupun elektronik, merilis berbagai kasus  yang menimpa perempuan. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyebutkan jumlah kekerasan yang terjadi terhadap perempuan dan anak selama kurun waktu lima tahun terakhir sejak 2012 meningkat dari 18.718 menjadi 54.041 kasus pada Juni 2017.

Selain itu ada juga gaji perempuan lebih rendah dari laki-laki walau kemampuannya sama, pembunuhan kepada bayi-bayi perempuan, pemerkosaan, tindakan pornografi, kekejaman terhadap perempuan, penjualan perempuan. Semua kasus tersebut menunjuk adanya subordinasi dan diskriminasi telah terjadi kepada perempuan.

Masyarakat yang partriakal lebih melihat status perempuan sebagai yang terendah dan kaum laki-laki dianggap lebih superior. Kaum lelaki memperlakukan perempuan  sekehendak hati tanpa mempeduli perempuan sebagai pribadi yang memiliki hak dan eksistensinya sebagai manusia yang memiliki akal budi, hati, dan kehendak bebas. Hak perempuan seakan dicabut dan dijadikan sebagai budak yang terus mengalami diskriminasi dan subordinasi dalam lingkungan masyarakat.

Diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan bukan hanya terjadi dalam lingkup masyarakat namun terjadi pula dalam kehidupan menggereja. Gereja berada dalam lingkungan masyarakat. Perempuan sering merasa ditekan dan dipandang sebagai tengah kerja, pembantu sampingan dan dilihat tidak sama, tidak bersih dan tidak pandai dalam bekerja. Hal ini tentu menunjukkan bahwa minimnya penghargaan terhadap pribadi manusia. Pengakuan dan penghargaan terhadap manusia masih sangat didasarkan pada jenis kelaminnya. Inilah yang menyebabkan muncul suatu pandangan tentang sexisme yang menilai bahwa perempuan lebih rendah daripada laki-laki. Akibatnya perempuan sering mengalami diskriminasi dan ketidakadilan karena kodratnya sebagai perempuan. Perempuan tidak diperlakukan sebagai pribadi yang bermartabat tetapi lebih dilihat sebagai obyek yang harus dimiliki dan bisa dipakai.

Akhirnya perempuan tidak sepenuhnya mendapat peran dan sikap leluasa dalam memberikan dirinya bagi Gereja.

Padangan teologis juga dapat dikatakan turut berpengaruh terjadi subordinasi terhadap kaum perempuan. Dapat  ditemukan dalam Kisah Penciptaan yang sering dipahami kurang tepat, ditegaskan bahwa perempuan dibentuk dari tulang rusuk laki-laki, teks inilah yang memunculkan subordinasi, selain itu pandang sebagai penggoda yang menyebabkan manusia berdosa. Tentulah masih banyak permasalahan teologis lain yang menjadikan perempuan mengalami diskriminasi dan subordinasi.

Transformasi Struktural Sebagai Jalan Keluar 

Gereja bertolak dari praktik kehidupan Yesus dan ajaran Gereja tentang menghargai martabat manusia. Perkembangan pemikiran teologi yang kian berkembang juga, akhirnya Gereja menyadari bahwa kaum perempuan memiliki martabat yang sederajat dengan laki-laki.  Paus Yohanes XXIII dalam ensiklik Pacem in Terris, menyatakan, Tidak dapat dibenarkan bahwa wanita diperlakukan sebagai barang, hak-haknya sebaai pribadi harus dihargai.

Pernyataan dalam ensiklik ini jelas akan hak-hak dan terlebih martabat perempuan yang harus dihargai bukan diperlakukan sebagai barang. Transformasi struktural dalam masyarakat dan dalam Gereja merupakan langkah yang diperlukan dalam melihat peranan perempuan dalam masyarakat dan dalam Gereja yang tak dapat dipisahkan. Transformasi sturktural mencakup bidang sosial, bidang ekonomi, bidang politik dan kebudayaan.

Dalam bidang sosial menyangkut relasi manusia, perempuan dapat berperan sebagai pelaku perubahan sosial. Semua dimulai dari perubahan relasi dalam keluarga, yang mana dalam pembagian tugas dapat diubah dari pembagain tugas berdasarkan seks diubah menjadi pembagain tugas berdasarkan kemampuan pribadi.

Di bidang ekonomi, perempuan dapat menjadi subjek ekonomi bukan sebagai objek ekonomi. Subjek ekonomi berarti kaum perempuan dapat mengubah berbagai bahan ekonomi dari alam menjadi hasil produksi. Selain itu perempuan memiliki kesempatan untuk menjadi konsumen untuk menentukan barang yang dibutuhkan, sehingga dapat mengendalikan tindakan keserakahan produsen yang semakin tidak memperhatikan hak-hak konsumen.

Bidang politik, kehadiran perempuan dalam bidang politik bertujuan untuk menciptakan demokrasi. Perempuan dalam lingkup demokrasi berperan dalam menentukan pranata kehidupan dan lingkungan hidup. Kaum perempuan berperan memperingatkan kaum laki-laki, akan tanggungjawab melestarikan lingkungan menjadu tugas bersama sebagai manusia.

Yang terakhir berkaitan dengan budaya mencakup pendidikan dan agama, perempuan sebagai yang berperan penting dapat mengajak kaum laki-laki untuk bersama mendidik dan bertanggung jawab terhapa anak-anak, dan mempunyai hak menolak hubungan seks diluar pernikahan.

Gereja terus menyuarakan martabat untuk menghargai dan memberikan peran perempuan dalam hidup bersama. Gereja memposisikan diri sebagai satu tubuh mistik Kristus yang memperhatikan dan menghargai martabat setiap orang. Akhirnya sesuai dengan peran perempuan yang terus berproses di segala aspek kehidupan, maka dalam Gereja juga perempuan  dalam berperan di berbagai aspek yang sama. Peranan ini dapat berfungsi apabila hak dan kesempatan dapat diberikan kepada perempuan dalam masyarakat. Maka perempuan dan laki-laki memiliki martabat yang sama dalam peranan sehingga tak ada sikap diskriminasi dan subordinasi tetapi yang ada hanyalah sikap menghormati dan mencintai sebagai manusia ciptaan Allah yang sama dalam menjalankan peranan dalam masyarakat dan Gereja.

Daftar Rujukan :

Ig. Joko Suyanto, 2012. Limen:Jurnal Agama dan Kebudayaan., hal 48, Abepura-Jayapura  Sekolah Tinggi Filsafat  Teologi Fajar Timur. Marcel Beding, B.S. Mardiatmadja, S.J, dkk., 1977. Gereja Indonesia Pasca-Vatikan II : Refleksi dan Tantangan., hal 79, Yogyakarta: Kanisius.

Berikan Komentar

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini