Memperkenalkan Pendidikan Moral Kepada Mahasiswa

44
Mahasiswa Poltekkes Sorong kuliah Etika
- Iklan Berita 1 -

SORONG, Monitorpapua.com- Mahasiswa Baru pasti belum mengenal sejumlah matari atau matakuliah. Para Dosen patut memberikan penjelasan awal terkait ilmu yang dipelajari mahasiswa di semua program studi. Memperkenalkan satu mata kuliah Etika kepada maahasiswa, pasti menjelaskan arti dan makna serta essensi dasar dari matakuliah tersebut. Kini, mahasiswa Poltekes sedang mengerjakan tugas dosen terkait Etika dan Moral. Kata yang cukup dekat dengan ‘Etika’ adalah ‘Moral’. Kata “Moral” berasal dari bahasa Latin : mos (jamak mores) yang berarti: Kebiasaan, Adat. Dalam bahasa Inggris dan dalam banyak bahasa lain, termasuk bahasa Indonesia, kata mores masih dipakai dalam arti yang sama. Jadi etimologi kata ‘Etika’  sama dengan etimologi kata ‘moral’. Karena keduanya berasal dari kata yang berarti: Adat Kebiasaan. Hanya bahasa asalnya berbeda. Yang pertama dari bahasa Yunani dan yang kedua dari bahasa Latin.

“Moral” dapat dapat dimaksudkan norma-norma (biasanya dirumuskan dalam bentuk perintah-perintah dan larangan-larangan) yang menata sikap batin dan perilaku lahiriah. Tetapi istilah “Moral” juga dipakai untuk ilmu, pengetahuan, ajaran atau teori mengenai norma-norma itu. Sedangkan “Moralitas” itu sendiri berasal dari bahasa Latin: moralis mempunyai arti yang pada dasarnya sama dengan ‘moral’, hanya ada nada lebih abstrak. Bila kita berbicara tentang ‘moralitas suatu perbuatan’, artinya, segi moral suatu perbuatan atau baik buruknya. Jadi, Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang berkenan dengan baik dan buruknya perbuatan.

Latar Belakang Pembahasan

Kata yang cukup dekat dengan ‘Etika’ adalah ‘Moral’. Secara teoretis menurut sumbernya, Moral dibagi menjadi dua yakni Moral Filosofis dan Moral Teologis. Praktis seringkali sulit menentukan apakah norma-norma atau moral tertentu bersumber pada agama tertentu atau hanya berdasarkan penalaran akalbudi. Antara keduanya tak perlu ada pertentangan, bahkan harus ada keserasian. Misalnya antara moral Kristen yang merupakan moral teologis dan moral Pancasila yang merupakan moral filosofis. Isi norma-normanya sama, meskipun penafsiran dan pendasarannya dalam moral teologis karena memanfaatkan data wahyu lebih mendalam dan diwarnai wahyu itu.

Mahasiswa Poltekkes Sorong sedang kuliah bersama Dosen
Mahasiswa Poltekkes Sorong sedang kuliah bersama Dosen

Secara metodis, Etika atau moral filosofis seperti Filsafat sendiri, yakni pada dasarnya sesuai kenyataan. Moral filosofis dapat diketahui dengan pengamatan dan penalaran akal budi tanpa Wahyu atau Kitab Suci atau otoritas instansi agama tertentu. Untuk Indonesia, misalnya, moral Pancasila dapat diterima semua pihak karena tidak bersumber atau berdasarkan agama tertentu. Jadi, Etika Filosofis secara secara metodis merefleksikan permasalahan moral melulu berdasarkan penalaran akal budi dan nilai-nilai kemanusiaan.

Etika Teologis secara metodis bersumber pada Wahyu/Kitab Suci yang biasanya ditafsirkan oleh otoritas instansi agama tertentu, walaupun tetap memakan penalaran akalbudi namun dalam cahaya iman yang memperkaya, memperdalamnya bahkan juga mengubah skala nilai-nilai (Isi Kitab Suci). Dalam menggunakan Kitab Suci sebagai argumen untuk posisi atau norma tertentu hendaknya dihindari fundamentalisme yang cenderung memperlakukan ayat-ayat Kitab Suci sebagai resep yang memecahkan segala persoalan. Jadi Etika Teologis secara metodis bersumber pada pengalaman iman sebagai tanggapan atas wahyu dalam lembaga agama tertentu. Sebagai pedoman baik-buruknya perilaku, Etika mengandung nilai-nilai, norma-norma dan asas-asas moral yang dipakai sebagai pegangan yang umum diterima bagi penentu baik-buruknya perilaku manusia atau benar salahnya tindakan manusia sebagai manusia.

Sebagai ilmu, Etika berarti suatu disiplin pengetahuan yang berefleksi tentang masalah-masalah moral atau kesusilaan secara kritis, logis, koheren dan sistematis. Etika sebagai salah satu cabang ilmu Filsafat sering disebut sebagai Teologi Moral.

Amoral dan Immoral

Masih mengenai istilah, perlu dibedakan antara amoral dan immoral. Kita bertolak dari istilah-istilah Bahasa Inggris, karena dalam bahasa Indonesia kita mengalami kesulitan. Oleh Concise Oxford Dictionary, kata Amoral diterangkan sebagai “unconcerned with, out of the sphere of moral, non-moral. Dalam kamus yang sama immoral dijelaskan sebagai “opposed to morality, morally evil”.  Jadi kata Inggris immoral berarti “bertentangan dengan moralitas yang baik”, “secara moral buruk”, tidak jelas.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (Poerwadarminta) yang lama tidak terdapat “amoral” atau pun “immoral”. Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang baru tidak dimuat “immoral” tapi terdapat kata “amoral” yang dijelaskan sebagai “tidak bermoral”, tidak berakhlak. Contoh: Memeras para pensiunan adalah tindakan amoral.

Kata “amoral” sebaiknya diartikan sebagai “netral dari sudut moral” atau “tidak mempunyai relevansi etis”. Contoh: Memeras para pensiunan adalah tindakan tidak bermoral, Jika kita tidak ingin menggunakan kata “immoral” tapi menggunakan kata “amoral”, di sini kita salah kaprah. Dalam hal ini kita tidak mempunyai alasan untuk menyimpang dari kebiasaan international.

Misalnya: Judul sebuah artikel “Decision-making in business: amoral” tidak mungkin diterjemahkan: Apakah pengambilan keputusan dalam bisnis tidak bermoral? Namun terjemahan yang tepat adalah: Apakah pengambilan keputusan dalam bisnis mempunyai relevansi moral?

Mahasiswa Poltekkes sedang belajar bersama Dosen
Mahasiswa Poltekkes Sorong sedang belajar bersama Dosen

Apakah Profesi itu?

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ‘profesi’ berarti bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian tertentu seperti kejuruan, ketrampilan dan keahlian lainnya. Bila dianalisis lebih mendalam, profesi lebih relevan dengan jabatan dalam pekerjaan tertentu. Namun tidak semua jabatan dan bidang pekerjaan disebut profesi. Pada masa sekarang, profesi hanya diperuntukkan bagi jabatan dan bidang pekerjaan pengacara, kedoketeran, kependetaan dan Pastor. Setelah itu jabatan dan bidang pekerjaan lainnya yang menyangkut masalah sosial dalam bidang pendidikan (profesi guru), bidang pengaturan bisnis (business management), bidang ilmu (profesi ilmuan), bidang keamanan (profesi militer) dan lain sebagainya juga dimasukkan dalam bidang profesi. Keahlian-keahlian tersebut jika dihubungkan dengan pengertian dalam KBBI maka unsur keahlian tertentu disebut profesi.

Pengertian ‘profesi’ yang dirumuskan dalam pendidikan keahlian dalam KBBI kalau diterapkan dalam dunia pendidikan, bisa meliputi penguasaan teori secara sistematis, penguasaan teknik intelektual yang sangat berhubungan dengan teori, praktek dan kemampuan menyelesaikan program pelatihan keahlian untuk memperoleh ijazah atau sertifikat. Profesi menurut pendidikan keahlian karena berhubungan dengan bidang pekerjaan dan pelayanan kepada masyarakat tanpa mencari-cari keuntungan pribadi. Itu berarti semakin profesional sesorang dalam bidangnya, semakin banyak masyarakat membutuhkan tenaganya untuk melayani sesama. Akan tetapi perlu diketahui masyarakat bahwa semakin profesionalnya seseorang bisa mengancam kehidupan orang lain karena secara manusiawi terbuka kemungkinan bagi kaum profesional untuk mengeksploitir subyek layanannya. Kenyataan, profesi mengandung kemungkinan yang bisa merugikan orang lain karena penyalahgunaan wewenang. Penyalahgunaan wewenang profesional akan merusak citra masyarakat terhadap profesi itu.

Oleh sebab itu profesi berkaitan erat dengan etika. Artinya baik buruknya seseorang tergantung dari caranya menjalankan profesinya. Jike setiap profesi ditempatkan dalam konteks fungsi pelayanan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat yang sangat kompleks serta peranannya demi terwujudnya kesejahteraan umum (bonum communae) maka secara moral, ia mampu menempatkan dirinya dan mampu bertanggung jawab terhadap setiap tindakan baik-buruknya manusia. Jadi, jelaslah bahwa sebuah profesi kalau ditempatkan pada porsinya maka profesi bukan hanya sebuah cara untuk mencari nafkah melainkan suatu bidang pekerjaan yang menuntut seseorang untuk berkompetensi dan bertanggung jawab.

Dengan demikian, pertanyaan mahasiswa Perguruan Tinggi di Sorong Papua tentang apakah etika itu dan apakah penting etika bagi profesi dosen perlahan-lahan mulai terjawab. Penulis mencoba menganalisis setiap tindakan profesi seseorang yang trampil di bidang keahliannya. Kini, perlu disadari oleh pembaca bahwa setiap himpunan profesi biasanya memiliki kode etik, yakni norma-norma yang disepakati dan ditetapkan bersama. Kode etik itu merupakan rincian norma-norma yang dijadikan pedoman untuk pengembangan profesi.

 Kesimpulan

Setelah pembaca mendalami arti sebuah etika dan profesi, maka kita dapat membuat sebuah rumusan singkat tentang apa itu ‘etika profesi’. Etika profesi secara singkat merupakan cabang ilmu Filsafat yang secara kritis dan sistematis merefleksikan permasalahan moral yang melekat pada suatu profesi. Etika profesi dapat juga dimengerti sebagai nilai-nilai dan azas-azas moral yang melekat pada pelaksanaan fungsi profesional tertentu dan wajib diperhatikan oleh pemegang profesi tersebut. Jadi etika profesi tidak melakukan refleksi tentang kewajiban umum manusia terhadap manusia lain, tetapi menyalurkan beberapa segi dari kewajiban tersebut dalam hubungan dengan tuntutan fungsional untuk melaksanakan suatu jenis pelayanan tertentu.

Mengapa etika profesi perlu diperbincangkan? Menurut Talcolt Parson, Sosiolog mengatakan pembicaraan etika profesi itu sangat penting. Karena semakin berkembang dan pentingnya peranan profesi dalam kehidupan masayarakat modern. “Sesuai perkembangan zaman maka semakin pentingnya strategis sebuah profesi dalam sistem pekerjaan masyarakat modern,” kata Talcolt Parson

Dalam masyarakat modern, setiap individu mulai mencari kebutuhan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, keamanan dan sebagainya. Tetapi diferensiasi fungsi dan sistem kerja profesional semakin menjadi bagian dari kehidupan masyarakat moden. Dalam situasi seperti ini, pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat dan kesejahteraan umum semakin tergantung dari layanan profesional. Fungsi pelayanan semakin terjamin maka diperlukan etika profesional. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya setiap orang menuntut bukan hanya standar kompetensi profesionalnya tetapi juga standar etis profesi tersebut. (Laurent R/pelbagai sumber)

Berikan Komentar

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini