Menguatkan Demokrasi melalui Gerakan Moderasi Beragama dalam Pemilihan Kepala Daerah

90
Menguatkan Demokrasi melalui Gerakan Moderasi Beragama dalam Pemilihan Kepala Daerah
Moderasi beragama dalam konteks Pilkada berarti menekankan pentingnya sikap saling menghargai antarumat beragama
- Iklan Berita 1 -

 

Penulis: Joko Waluyo (Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Papua)

JAYAPURA, Monitorpapua.com.Demokrasi merupakan fondasi penting dalam tatanan pemerintahan di Indonesia, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) sebagai salah satu wujud demokrasi ditingkat daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota merupakan  mekanisme penting untuk menjaga keseimbangan antara kebijakan pemerintah dan kepentingan masyarakat. Namun, di tengah pluralitas agama dan budaya, dinamika politik Pilkada sering kali menjadi tantangan, khususnya terkait penggunaan isu-isu agama. Dalam konteks ini, gerakan moderasi beragama menjadi strategi penting untuk menguatkan demokrasi dan mencegah terjadinya konflik berbasis agama.

Moderasi beragama sebagai pendekatan yang menekankan keseimbangan dalam beragama, menghindari ekstremisme dan radikalisme, serta mengedepankan sikap toleransi dan penghormatan terhadap perbedaan. Prinsip ini sangat relevan dalam konteks masyarakat Indonesia yang plural, di mana perbedaan keyakinan sering kali memunculkan gesekan. Moderasi beragama bukan berarti mengabaikan keyakinan atau prinsip keagamaan seseorang, tetapi justru menekankan praktik beragama yang damai dan harmonis dengan sesama, baik di intern umat beragama maupun antar umat bergama. Moderasi beragama yang menekankan pada sikap inklusif, toleran, dan menolak ekstremisme, dapat menjadi alat yang efektif dalam mencegah ketegangan dan meningkatkan kualitas demokrasi.

Kandidat yang memahami pentingnya moderasi beragama cenderung menghindari kampanye berbasis identitas agama
Kandidat yang memahami pentingnya moderasi beragama cenderung menghindari kampanye berbasis identitas agama (Joko Waluyo)

Sistem perpolitikan dalam negara demokrasi berfokus pada kebebasan dan kesetaraan, yang sejatinya memerlukan stabilitas sosial dan harmonis. Moderasi beragama berperan penting dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi berjalannya demokrasi yang sehat, di mana perbedaan agama dan keyakinan tidak menjadi sumber konflik atau diskriminasi. Dalam konteks Pilkada, moderasi beragama menjadi semakin penting mengingat kecenderungan politisasi agama, di mana agama kerap dijadikan alat untuk meraih dukungan atau bahkan menjatuhkan lawan politik. Ketika prinsip moderasi beragama diterapkan dalam proses demokrasi, hal ini akan mendorong terciptanya iklim politik yang lebih damai, di mana setiap calon kepala daerah maupun pemilih dapat menjalankan hak dan kewajibannya tanpa adanya tekanan berdasarkan identitas agama.

Pelaksanaan Pilkada merupakan salah satu aspek penting dalam sistem demokrasi Indonesia yang memungkinkan masyarakat memilih pemimpin daerah secara langsung. Dalam pelaksanaannya proses demokrasi ini tidak terlepas dari tantangan, khususnya yang terkait dengan politisasi agama. Dalam Pilkada, agama kerap dijadikan sebagai dukungan dalam berpolitik, jika hal ini biarkan akan dapat berpotensi memecah belah masyarakat yang plural. Gerakan moderasi beragama menjadi sangat relevan untuk menjaga harmonisasi kehidupan sosial dan kualitas demokrasi,. Moderasi beragama mengedepankan nilai-nilai inklusif, toleransi, dan penolakan terhadap ekstremisme yang dapat menjadi landasan penting dalam menjaga keadilan dan kesetaraan dalam Pilkada.

Moderasi beragama dalam konteks Pilkada berarti menekankan pentingnya sikap saling menghargai antarumat beragama dan menolak upaya mempolitisasi isu agama demi kepentingan politik. Moderasi beragama adalah upaya untuk menempatkan agama dalam bingkai kesetaraan dan kebersamaan tanpa menghilangkan identitas keagamaan seseorang (Mukhibat,2020). Prinsip ini membantu menghindarkan potensi konflik yang muncul akibat narasi agama yang digunakan untuk menjatuhkan lawan politik atau memarginalkan kelompok yang dianggap sebagai lawan politik. Perlu adanya pemahaman kepada masyarakat dari Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) agar membawa suasana Pilkada yang lebih moderat. Pemilih dapat menilai para kandidat berdasarkan program kerja yang termuat dalam visi dan misi, serta kapabilitas kandidat bukan identitas keagamaan tertentu.

Moderasi beragama tidak hanya berfungsi sebagai penyeimbang dalam persaingan politik,
Joko Waluyo : Moderasi beragama tidak hanya berfungsi sebagai penyeimbang dalam persaingan politik,

Moderasi beragama tidak hanya berfungsi sebagai penyeimbang dalam persaingan politik, tetapi juga sebagai katalis dalam memperkuat partisipasi politik yang sehat. Partisipasi yang sehat berarti pemilih merasa bebas untuk memilih tanpa adanya intimidasi apalagi dipengaruhi oleh isu-isu agama yang bersifat provokatif. Masyarakat yang teredukasi dengan nilai-nilai moderasi beragama akan lebih cenderung fokus pada gagasan yang disampaikan calon kepala daerah dan tidak terpengaruh oleh narasi agama yang manipulatif. Hal ini sebagaimana diungkapkan Zuhri (2019) bahwa moderasi beragama dapat meminimalisir penyalahgunaan agama dalam ruang politik dan mengembalikan esensi demokrasi yang berkeadilan.

Moderasi beragama dalam Pilkada tidak hanya mendukung demokrasi dari sisi pemilih, tetapi juga dari sisi kandidat. Kandidat yang memahami pentingnya moderasi beragama cenderung menghindari kampanye berbasis identitas agama, dan sebaliknya lebih fokus pada penyampaian program yang inklusif dan berdampak positif bagi semua lapisan masyarakat. Mereka mengedepankan dialog antarumat beragama, serta mendorong partisipasi yang lebih luas dari berbagai kelompok masyarakat. Pendapat Nasir (2020) yang menyebutkan bahwa moderasi beragama mendorong para pemimpin untuk menjadi lebih inklusif dan sensitif terhadap keragaman masyarakat.

Keragaman masyarakat dapat dibangun dengan dialog antar umat beragama yang tidak terlepas dari peran masing-masing tokoh agama. Peran tokoh agama sangat penting dalam menguatkan moderasi beragama selama Pilkada. Tokoh agama yang moderat dapat menjadi agen perubahan dengan menyuarakan pentingnya toleransi dan kerukunan, serta menolak segala bentuk politisasi agama. Tokoh agama bisa menjadi mediator dalam konflik berbasis agama yang mungkin muncul selama proses Pilkada dan mendorong dialog lintas agama untuk menciptakan iklim politik yang lebih damai. Selain tokoh agama, media juga memiliki peran penting dalam menyebarkan pesan moderasi beragama. Media yang bertanggung jawab akan mempublikasikan narasi yang menekankan persatuan dan kerukunan, serta menghindari pemberitaan yang memicu sentimen agama. Penggunaan media sosial yang bijak juga dapat membantu menyebarkan pesan-pesan moderasi beragama kepada khalayak yang lebih luas terutama kepada generasi muda.

Dengan demikian, untuk menguatkan demokrasi dalam Pilkada, gerakan moderasi beragama perlu terus didorong. Ini bisa dilakukan melalui pendidikan politik yang berkelanjutan, peran tokoh agama yang moderat, serta media yang bertanggung jawab. Hal ini jika diterapkan dalam kehidupan dapat membangun demokrasi yang lebih sehat, di mana Pilkada bukan lagi menjadi ajang perpecahan berbasis agama, melainkan sarana untuk memilih pemimpin yang benar-benar mampu membawa perubahan positif bagi masyarakat. (*/red)

1 KOMENTAR

  1. Berharap politik Indonesia lebih dewasa apalagi turut sertanya pemahaman masyarakat tentang moderasi, karena basic dari kepentingan politik itu sendiri tidak jarang mengkotakkan kelompok sehingga ketenteraman dalam kehidupan bernegara menjadi labil.
    Terimakasih turut mendewasakan Indonesia melalui ketikan2 yang mencerdaskan bangsa.

Berikan Komentar

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini