JAKARTA, Monitorpapua.com – Perkembangan era digital yang ditandai dengan semakin masifnya penetrasi media sosial dalam berbagai aspek kehidupan, telah mengubah cara-cara dan pola komunikasi masyarakat dan menjadikan arus informasi mengalir dengan deras dan cepat.
Menjelang dan sesudah pesta demokrasi tahun ini, dimana pada bulan April lalu, dilaksanakan Pemilihan Umum Presiden dan Legislatif, masyarakat terpapar oleh jutaan informasi tidak terverifikasi. Banyak pihak, atau golongan tertentu yang menggunakan mesin hoaks secara masif. Ada kubu yang konsisten memproduksi hoaks untuk mendapatkan dukungan. Tak ayal, warga negara Indonesia terpolarisasi, terkubu-kubu, bahkan banyak persaudaraan retak.
Hal ini merupakan tantangan besar bagi media massa arus utama (mainstream) untuk tetap menjadi penjaga pintu gerbang informasi (the gatekeeper), terutama karena mereka harus bersaing dalam mengimplifikasi kebenaran dan mendistribusikan informasi dalam bentuk berita yang bisa dipertanggung jawabkan secara kaidah jurnalistik.
“Semua orang bisa jadi wartawan, kan tidak semuanya baik-baik. Ada juga penjahat, ada yang anti Pancasila, dan lain-lain. Apa yang telah terjadi? di sosmed banyak sekali konten yang isinya sampah, yakni hoax, oleh karena itu masyarakat perlu diberi literasi tentang apa yang disebut hoax, bagaimanna regulasinya, ada UU ITE dan lain-lain,” kata Prof. Dr. Drs. Hendri Subiakto, SH., MH., Staf Ahli Mentri Kominfo RI Bidang Hukum.
Prof. Hendri berbicara dalam sebuah diskusi publik yang diadakan oleh komunitas Generasi Milenial se-Jabodetabek, melalui bendera EO-PHORIA, sebagai creative organizing committe, dengan tema “Literasi Media Sebagai Alat Pemersatu Bangsa”.
Acara ini turut mengundang pemimpin media arus utama seperti Aditya L. Djono Pemimpin Redaksi Suara Pembaruan; Ali Akbar Pemimpin Redaksi Harian Terbit, Jodi Yudhono Ketua Ikatan Wartawan Online ( IWO). Prof. Hendri melanjutkan penanganan hoax mencakup dari hulu, seperti literasi melalui diskusi publik.
“Kedua ada ditengah. Misalnya ada yang membuat lembaga tertentu untuk menunjukan mana yang Hoax dan bukan, termasuk fact checker. Lalu ada Masyarakat Anti Fitnah, yang bisa diajak berdiskusi,” ujarnya. “Yang terakhir adalah penagakan hukum,” kata Prof. Hendri. Ia menambahkan pemerintah kini tengah menggodok sanksi bagi platform sosial media atau chatting yang membiarkan hoax beredar.
“Di sini juga kita tekankan kepada platformnya, kalau ada hoax, yang beredar di Facebook, mereka akan kita ingatkan supaya mereka punya mekanisme tidak membiarkan platformnya dipakai.” Pemimpin redaksi harian Suara Pembaruan Aditya mengatakan poin terakhir atau penegakan hukum adalah yang terpenting.
“Harus ada formulasi aturan yang bisa membatasi secara ketat, sekaligus memberikan sangksi secara tegas bagi yang menyebarluaskan informasi tidak benar. Hal ini untuk memberikan efek jera,” ujarnya. Berdasarkan isi pasal 28 ayat 1 dalam Undang Undang Republik Idnonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengatakan penyebar informasi bohong alias hoax bisa terkena sanksi berat. Setiap orang yang dengan sengaja dan atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, ancamannya bisa terkena pidana paling lama enam tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.
Jodi Yudhono Ketua Ikatan Wartawan Online ( IWO), mengatakan para praktisi media mengakui, platform mesin pencari, media sosial dan platform chating adalah media yang paling banyak digunakan masyarakat. “Literasi adalah membaca dan menulis. Menulis postingan di media sosial memerlukan kecerdasan menulis seperti data maupun fakta. Tidak menyinggung perasaan. Tidak menyebarkan ujaran kebencian.”
Ginka Febriyanti, mewakili panitia penyelenggara forum diskusi Jumat petang dari EO-PHORIA mengingatkan media mainstream juga harus bisa membentengi diri untuk tidak dipengaruhi kekuatan politik, ekonomi, maupun agama, supaya “masyarakat tidak bingung dan berada dalam kondisi ambigue terhadap kebenaran.”
Acara Jumat petang tersebut dihadiri delegasi mahasiswa-mahasiswi berbagai universitas se-Jabodetabek. (RED-MP/IWO)