JAKARTA, Monitorpapua.com – SAAT ini Indonesia masih kekurangan tenaga medis terutama didaerah pelosok. Namun, untuk menjalankan profesi tersebut diperlukan perjuangan panjang lantaran prosedur yang rumit dan berbelit-belit karena ada Peraturan Menteri Ristek Pendidikan Tinggi atau Permenristekdikti Nomor 12 tahun 2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Ujian Kompetensi Mahasiswa Bidang Kesehatan.
Demikian dikatakan pemerhati dibidang kesehatan Paulina Hutauruk kepada wartawan Rabu (20/11/2019).
Paulina berharap, pemerintah bisa mempermudah ijin profesi tenaga medis yang akan melakukan praktiknya. Sehingga, anak lulus dan sudah mendapat gelar akademik dibidangnya bisa langsung menerapkan ilmu yang telah didapatkannya.
Menurut Paulina, Permenristekdikti Nomor 12 tahun 2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Ujian Kompetensi Mahasiswa Bidang Kesehatan sudah tidak relevan lagi diterapkan. Karena, kata dia, Permenristekdikti itu justru menghambat karir seseorang.
“Permenristekdikti Nomor 12 tahun 2016 sudah tidak pas lagi diterapkan bagi tenaga medis. Jika dibiarkan ini akan berdampak buruk,” ujarnya.
Untuk itu dirinya berharap, Presiden Joko Widodo atau Jokowi bisa meninjau kembali Permenristekdikti tersebut.
“Presiden Jokowi maupun Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim hendaknya memperhatikan dan mengkaji ulang aturan itu. Sehingga, aturan yang akan dibuat nantinya tidak menghambat tenaga medis,” ujar Ketua umum Facebookers Indonesia ini.
Paulina meminta, Presiden Jokowi bisa memerintahkan Nadiem Makarim untuk mencabut aturan itu. Sebab, aturan itu dinilainya tidak menguntungkan bagi tenaga medis.
“Mendiknas Nadiem Makarim harus mencabut Permenristekdikti Nomor 12 tahun 2016 yang dibuat Menteri sebelumnya,” ucap Paulina.
Paulina menjelaskan, dengan adanya aturan itu, saat ini semua sarjana dibidang medis terasa sulit untuk bisa terjun ke lapangan. Bahkan, ada yang sudah ikut ujian Kompetensi sebanyak 20 kali namun tidak lulus.
“Yang lebih memprihatinkan sarjana kedokteran. Ada yang sampai 20 kali ikut ujian Kompetensi namun tidak lulus. Ini kan sangat sangat miris,” tegasnya.
Dia menambahkan, jika ujian Kompetensi bagi tenaga medis dilakukan hanya 1 kali dalam setahun tidak menutup kemungkinan saat dia berusia 50 tahun baru mendapatkan lisensi tenaga medis.
Paulina khawatir, ditengah maraknya radikalismse saat ini tenaga medis juga terkena imbasnya. Karena, menurut Paulina, radikalisme bisa menyasar siapapun.
“Saat ini seperti yang kita ketahui banyak juga tenaga medis terpapar radikalisme. Sehingga diperlukan tenaga medis yang benar-benar mempunyai nasionalisme yang tingggi,” pungkas Paulina. (WIT/REN/IWO)