live in the memory of Pastor Neles Tebay, Pr
Penulis : Samuel Asse Bless
Monitorpapua.com – Dalam tahun 2017, saya berjumpa dengan Pater Neles Tebay di Jakarta. Tepatnya, di Jalan Kramat VII. Dekat sekali dengan wisma Unio Indonesia, di Kramat. Saya tanya, “Siang kaka Pater. Kaka dari mana?” Ia menjawab, “Saya dari Saint Carolus”. Kaka ada sakit. Saya tidak berani bertanya lebih lanjut. Iyo…Kaka. Saya tinggal di Hotel Blue Sky, Pandunata, di Raden Saleh.
Dia menjelaskan lagi, saya punya Wisma dekat sekali dengan Ko, Ade!” Saya melihat pater dalam perjalanannya kembali ke Wisma Unio, agak lamban, dan nampak lelah. Saya tidak tanya, tetapi cukup kesan saya begitu. “Ok. Kaka. Saya nanti mau ke Kaka Pater di Wisma ee?” Pater kembali menjawab. “Datang saja!”. Nanti lapor saja. Kalau saya ada nanti kita ketemu!” Tak Sangka-sangka, bahwa itulah perjumpaan langsung untuk terakhir kalinya dengan “Sang Pembuka Jalan”, Neles, Kebadabi Tebay, Pr.
Ia adalah salah satu generasi Meek atau yang sekarang dikenal dengan Mepago, bisa mengalami loncatan peradaban secara dahsyat. Sulit dibayangkan, dari kehidupan di kampung yang sangat terisolir pada masa- masa 1970-an hingga 1990-an, ia bisa melepaskan koteka, menuju Jayapura, lalu menembus Filipina dan meraih gelar Master Missiologi, dari East Asia Pastoral Institute di Eteneio, Manila Pilipina.
Lalu, tidak terbayangkan dan menjadi kejutan besar juga, ketika Beliau, dapat menginjakkan kaki di Roma dan berhasil meraih gelar doktor dari salah universitas kepausan di sana ( tahun 2002). Doktor Neles, secara berkala menulis tetap di The Jakarta Post, sebuah koran berbahasa Inggris di Indonesia. Ia pun sering menulis pula di KOMPAS, Majalah TEMPO, dan masih
banyak lagi. Neles, pernah bercerita kepada saya dalam tahun 2000 di Jayapura. Ia pernah diminta, Tom Beanal, Taha Al Hamid, dan kawan-kawan untuk mengunjungi Markas PBB di New York. Sebelum mereka melakukan konferensi pers di Markas PBB, dalam tahun 1999. Ia mendampingi para tokoh Paua yang ketika tergabung dalam Dewan Presidium Papua untuk melalukan lobi masalah Papua ke UN di New York.
Neles menyambung cerita kelakar dari Taha Alhamid, ketika berjalan-jalan di Halaman Markas PBB yang luas dengan berbagai bendera negara-negara di dunia yang ditancap di depan Markas PBB. Lalu, kepada saya Neles ia menyambung kelakar dari Taha Alhamid, Sekjend PDP bahwa, “masih bisa satu tiang bendera lagi di sini!”.
Lalu, Neles balik tanya, “ Ko bilang apa itu?” Taha Al Hamid berguman lagi,,” masih bisa satu tiang bendera lagi di tanah sisa yang masih kosong ini!” Itulah cuplikan cerita dari Neles Tebay ketika kami berjumpa di Tondios, Abepura ( dalam tahun 2000); dan juga di Bandung dalam beberapa tahun sebelum di Jayapura. Kami berjumpa dalam sebuah Simposium di Bandung, dan juga Semarang atau Jogja. Kami hanya bercerita mop, dan pengalaman kelakuan dari teman-teman asal Sorong di Jayapura, atau di Belanda, dan di Roma.
Ia juga bercerita banyak tentang ayah dan ibunya, di Wagethe, yang ketika ia masih sangat sederhana tetapi melahirka seorang Neles hingga menjadi imam projo di antara deretan imam dari Kevikepan Nabire.
Neles, seringkali memperkenalkan diri dengan orang Sorong bila bertemu, ia mengatakan, “saya punya teman di Sorong. Samuel Bless. Dia membuat saya bangga kalau dengar kabar itu dari seseorang yang berjumpa dengannya dan membanggakan saya”. Saya lebih kagum padanya daripada saya sendiri. (Bersambung….Part 2)
[…] Nasib Dialog “Pasca Sang Pembuka Jalan” Itu Pergi (Part 1) […]