
Penulis: Mario Benedikto Rantepadang (Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur)
ABEPURA-PAPUA, Monitorpapua.com – Globalisasi adalah era yang menawarkan dua pilihan kepada manusia masa kini yakni ‘ditindas’ atau ‘merdeka’.
Perkembangan kehidupan di era globalisasi membawa dampak besar bagi perkembangan karakter manusia. Era globalisasi menghadirkan beragam hal bagi manusia sekaligus mengeliminasikan beragam hal yang ada pada diri manusia.
Globalisasi identik dengan kemajuan teknologi, perkembangan sarana informasi-komunikasi dan transportasi. Kemajuan teknologi membawa warna tersendiri bagi beberapa bidang penting dalam kehidupan, seperti pendidikan, ekonomi, politik, agama dan budaya lokal.
Globalisasi menjadi semacam ‘peradaban baru’ yang menggelitik realitas dunia masa kini.
Globalisasi membonceng nilai-nilai, ideologi, sistem, serta cara hidup yang perlahan mengubah budaya konservatif (budaya lama) menjadi budaya globalistik (budaya baru di era globalisasi). Hal ini sudah terjadi di seluruh belahan dunia, termasuk di Indonesia, Papua.
Di Papua, dampak globalisasi begitu amat terasa, khususnya dalam bidang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Globalisasi membawa pengaruh besar terhadap perkembangan karakter anak sekolah dalam dunia pendidikan (Formal dan informal).
Pendidikan
Dalam UU Nomor 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus, pendidikan menjadi sektor penting yang diprioritaskan. Pendidikan di Papua menjadi fokus perhatian yang paling utama dari program otonomi khusus.
Menurut Immanuel Kant, pendidikan merupakan proses yang perlu dijalani manusia untuk menjadi manusia (Dewey, 2003: 61).
Pendidikan adalah upaya sistematik yang berorientasi pada kemerdekaan karakter manusia. Manusia sejati adalah manusia yang merdeka. Manusia yang merdeka merupakan pribadi yang bebas dari ketimpangan karakter, kebodohan, kemalasan, ketidakdisiplinan, apatis, dan ketumpulan suara hati. Merdeka bukan sekedar ungkapan belaka. Kata merdeka mengandung arti yang sangat luhur. Merdeka berarti Bebas. Bebas dari dan bebas untuk, berdaulat, visioner, dan transformatif.
Pendidikan harus berorientasi ke arah itu. Orientasi tersebut bukan mengatasi kemanusiaan tetapi membentuk kemanusiaan (transformasi diri).
Orientasi pendidikan mesti berujung pada pembentukkan kemanusiaan melalui proses pencerdasan.
Mencerdaskan manusia menjadi konsekuensi logis dari pendidikan. Hal ini tidak boleh terdistorsi oleh berbagai kepentingan subjektif.
Mencerdaskan manusia, pertama-tama harus dipahami sebagai upaya untuk memerdekakan dimensi kemanusiaan individu. Manusia yang merdeka adalah pribadi yang bangkit dari ketimpangan karakter. Pribadi yang bangkit harus memiliki integritas, baik secara intelektual maupun spiritual.
Pembentukkan karakter perlu dilakukan agar manusia memiliki integritas. Manusia yang berintegritas akan menjadi pribadi yang benar-benar merdeka, nasionalis, kritis, objektif, potensial dan kompetitif. Semuanya itu hanya dapat terwujud melalui pendidikan.
Pendidikan karakter merupakan proses memerdekakan manusia .Manusia adalah mahkluk psiko-somatik. Menurut Plato (seorang filsuf Yunani), manusia merupakan mahkluk dualisme yang terdiri atas forma (jiwa) dan materi (tubuh). Manusia mempunyai daya rasionalitas yang terbuka kepada idea (realitas sejati atau paradigma tunggal dari segala realitas semu di dunia).
Manusia memiliki daya anamnesis (ingatan) untuk mengetahui segala makna yang bersembunyi di balik realitas inderawi. Nyaris serupa, Aristoteles berpendapat bahwa manusia adalah animal rasionale, ‘binatang’ (mahkluk) yang berakal budi. Melalui rasio (akal budi) manusia mengenal dan menegaskan karakternya.
Pendapat para filsuf di atas ingin menegaskan bahwa manusia adalah mahkluk potensial yang mampu menciptakan transformasi ideal bagi perkembangan diri dan alam sekitarnya. Transformasi ideal yang dimaksud adalah upaya mengungkapkan hasil penalaran integral ke dalam realitas. Maksud dari penalaran integral adalah suatu sistem berpikir yang sistemik, objektif, kritis, koheren dan berdaya guna bagi perkembangan diri (karakter) dan alam sekitarnya (Tuhan, sesama dan mahkluk ciptaan lainnya). Inilah ciri manusia sejati, ciri manusia yang merdeka.
Sebagai manusia, tentu harus diperlakukan secara manusiawi. Manusia yang diperlakukan secara manusiawi adalah manusia yang bersikap sebagai manusia, adalah manusia yang merdeka, bebas dari belenggu ketimpangan karakter, kebodohan, kemalasan dan sikap apatis. Untuk menjadi manusia yang merdeka, manusia harus dibentuk melalui pendidikan karakter.
Manusia yang memiliki karakter akan menjadi individu yang berintegritas luhur. Pribadi yang berintegritas harus menyadari tujuan hidupnya. Oleh karena itu, pendidikan yang diberikan kepada seseorang harus membawa dirinya kepada tingkat kesadaran tertentu, sadar akan tujuan hidupnya. Russel (1993), pendidikan yang menempatkan tujuannya di luar individu tidak akan mengantar pada kemanusiaan yang sejati.
Penutup
Pendidikan karakter penting bagi anak sekolah di era globalisasi, secara istimewa bagi anak Indonesia, khususnya peserta didik di Tanah Papua. Pendidikan karakter sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter peserta didik. Pendidikan karakter terarah kepada pembentukan karakter yang bermutu (integritas).
Pembentukan karakter dalam diri peserta didik harus terus dilakukan secara berkelanjutan. Peserta didik yang memiliki integritas pasti memiliki karakter diri yang unggul. Karakter diri yang unggul ini akan berimplikasi pada cara pandang dan pola laku peserta didik. Dengan memiliki karakter yang unggul dan berkualitas, maka peserta didik akan memiliki cara pandang dan pola laku yang baik, menjadi manusia yang merdeka, karena manusia yang merdeka adalah manusia yang bangkit dari ketimpangan karakter, memiliki cara pandang sehat dan berperilaku baik. Manusia yang merdeka akan memiliki kesadaran untuk mempertahankan nilai-nilai kehidupan yang positif dan tidak berdiri pada nilai-nilai negatif. (MBR)